SEJARAH BERDIRINYA
MADRASAH DAN PONDOK MIA
A. Masa-masa perintisan (1965)
Ketika masyarakat mulai gandrung kepada keindahan ajaran islam KH. Abdul Aziz mendirikan masjid yang sangat sederhana, yaitu atas kerelaan mbah Musi untuk mengubah bale rumahnya menjadi Masjid. Di masjid yang berdindingkan anyaman bambu (gedek) dan berlantaikan anyaman daun kelapa (blarak) ini beliau mulai mengajar dan membimbing santri-santri tentang masalah keagamaan. Suatu ketika, masjid tersebut roboh dan menimpa salah seorang santri, melihat hal itu mereka yang sejak awal tidak suka dengan Islam dengan nada mengejek berkata “ngedekne masjid kok nang kene” (mendirikan masjid kok di sini).
Satu hal yang menarik dari masjid ini ialah walaupun kedaannya begitu sederhana dan lantainya sering basah oleh banjir, tidak membuat para santri untuk meninggalkannya, sehingga tak hayal masjid ini menjadi saksi bisu atas khatamnya pelajaran Alfiah oleh empat orang santri . mereka adalah Bapak. Musytari (Kedungsuko) yang sekarang menjadi modin desa moyoketen, Bapak Kayis (Gedangsewu), Bapak Sakban (Waung) dan bapak Imam Turmudi (Sobontoro). Semangat merekalah yang patut kita tiru.
Sekitar tahun 1972 masjid mengalami renovasi dengan berdindingkan tembok dan bertambah luas. Biaya pembangunan didapat dari jamaah dan sumbangan Bpk H. Mashuri, Bapak H. Abdul Manan, Bpk. H. Abdul Rozak, Bpk.H. Sayuti. Dengan bertambah besarnya masjid kegiatan keagamaan semakin meningkat. Masyarakat berduyun-duyun melintasi rawa-rawa dengan perahu kecil. Kesulitan dan rintangan yang mereka hadapi mengingatkan kita akan cobaan-cobaan yang harus dihadapi santri untuk mencapai kesempurnaan ilmu dan batin yang lebih tinggi.
Pada perkembangan selanjutnya, karena kondisi alam yang makin membaik dengan makin jarangnya terjadi banjir, masjid sering digunakan untuk kegiatan jamiah daerah luar. Salah satunya adalah Jantiqo (jama‟ah anti koler) yang digagas oleh gus Miek (KH. Hamim Jazuli) Ploso Mojo-Kidiri dari beliaulah mulanya usulan supaya KH. Abdul Aziz segera medirikan Pondok. Maka atas bantuan dari jamah dan para teman akrab, KH. Abdul Aziz mulai mendirikan lokal untuk pondok dan madrasah. Secara resmi pondok berdiri pada tahun 1994 yang diresmikan oleh KH. Nurul Huda, pengasuh Pondok Ploso Mojo Kediri, dengan nama “MIA” (Ma‟hadul Ilmi Wal Amal) yang nantinya diharapkan menjadi tempat bagi para pencari ilmu serta pengamalannya. Nama MIA itu sendiri merupakan pemberian dari Gus Miek.
Dengan bermodal sekitar sepuluh santri yang menetap di pondok, MIA terus mengalami pengem-bangan. Lambat laun pondok yang memberlakukan santri seperti keluarga sendiri ini, segera menaruh minat santri-santri dari daerah lain yang jauh untuk mondok. Pada umumnya mereka berasal dari kaum dhuafak yang ingin mengaji sambil bekerja. Sehingga sampai sekarang pondok tidak melarang bagi mereka yang nyambi bekerja di luar.
Tentunya pondok seperti ini di samping memiliki beberapa kelebihan juga memiliki kelemahan, diantara nilai tambah dari pondok ini ialah santri di dalam membiayai kebutuhannya tidak lagi menanti kiriman dari orang tua, yang tidak tentu datangnya itupun jarang sekali, bahkan bagi sebagaian santri tidak pernah mendapatkannya sama sekali. Di samping itu pengalaman bekerja selama mondok dapat mereka jadikan bekal jika santri sudah pulang dan terjun ke masyarakat. Adapun kelemahannya ialah jika santri tidak pandai-pandai dalam membagi waktu, waktu belajar mereka menjadi tersita oleh pekerjaan.
Tanpa disadari bangunan pondok dan madasah menjadi telalu sempt bagi para santri yang jumlahnya semakin membengkak sehingga tidak mencukupi untuk menampung mereka. banyak dari kegiatan belajar mengajar diadakan di luar kelas, seperti di dalam dan serambi masjid, serambi dalem Romo Kyai, serta rumahnya Bapak Mualim. Kurangnya gedung tentu menjadi masalah yang mengganggu proses belajar mengajar. Namun tidak lama kemudian masalah ini segera teratasi dengan dibangunnya madrasah bagian barat yang berjumlah delapan lokal, dan peresmian bangunan ini bersamaan dengan khataman Alfiyah dan haflah akhirissanah tahun 2002 M. Dan kini bangunan lantai dua masih dalam tahap penyelesaian.
B. Kegiatan Madrasah Ma’hadul Ilmi Wal Amal
Sejak awal berdirinya hingga kini, Madrasah diadakan malam hari setelah shalat Magrib, dengan alokasi waktu + 90 menit. Melihat hal ini maka Madrasah MIA dapat digolongkan sebagai Madrasah yang bersifat supplement yaitu Madrasah Diniyah sore dan Pesantren yang hanya dilangsungkan dalam waktu tertentu (sore hari atau malam hari setelah Maghrib) di tengah-tengah rutinitas pesantren.
Pada awalnya kitab-kitab yang diajarkan tergolong dasar dan sederhana, jenjang kelas hanya sampai di tingkat Tsanawiyah. Perkembangan Madrasah tahun berikutnya sudah mengalami revisi dengan dibuatnya kurikulum yang tetap, walaupun sebelumnya banyak perubahan di sana sini. Dengan ditambahnya tenaga pengajar, bertambah pula disiplin-disiplin ilmu yang diajarkan. Sehingga mulai dirintis jenjang kelas Aliyah.
Layaknya kebanyakan Madrasah di Indonesia, Madrasah MIA juga mengajarkan beberapa disiplin ilmu ke Islaman, seperti Fiqih, tajwid, Aqidah Akhlak, Ilmu Alat (Nahwu-Sharaf), Balaghah, Ushul Fiqih, Tafsir, Hadits, Tasawuf dll. dalam penggunaan kitab pelajaran pada umumnya diambilkan dari kitab-kitab terbitan Pondok Ploso dan Lirboyo dalam bentuk takrirot. Di Madrasah yang sebagian besar santrinya santri desa (santri kalong) yang juga merangkap sekolah umum ini, hafalan nadhom dan pemahaman murod, wawasan (cakupan nadhom) serta keterkaitan nadhom satu dengan yang lain diupayakan bisa dilakukan para santri. Sehingga santri diharapkan mampu membaca dan memahami pelajaran.
Seiring perkembangan zaman yang semakin modern. Madrasah MIA dari tahun ke tahun mengalami pasang surut jumlah santri. Hal ini dapat dilihat dari jumlah santri Ibtida‟ yang rata-rata lebih dari 30 santri tiap kelas, berkurang menjadi belasan santri di tingkat Tsanawi. Dan terus berkurang di tingkat Aliyah. Tentunya banyak faktor yang mempengaruhi hal ini. Dan sudah menjadi kewajiban bagi penerus untuk selalu memajukan Madrasah supaya lembaga ini semakin diminati oleh masyarakat.
C. Kegiatan Pondok Pesantren Salafiyah Ma’hadul Ilmi Wal Amal
Sebagai pengejawantahan dari visi dan misi pesantren pada umumnya yaitu membentuk santri berkepribadian muslim yang berperilaku atas landasan iman, taqwa dan akhlaqul karimah, serta menghasilkan ulama‟-ulama‟ yang mumpuni, da'i-da'i mujahid serta dapat mewujudkan masyarakat modern, maka kegiatan yang ada di pondok ini selian mewajibkan para santri mengikuti Madrasah juga mengadakan pengajian kitab-kitab kuning sebagai basic pengusaan hasanah keilmuan klasik.
Seperti halnya Madrasah, kegiatan pondok pada awal-awal berdirinya, tergolong dasar. Kegiatan ekstra berupa Khitobiyah dan seni baca Diba‟iyah Berzanji serta Manaqib diadakan secara bergilir setiap malam Jum‟at ditambah lalaran Al-Fiyah setiap hari selasa pagi. Tahun-tahun berikutnya mulai ada tambahan-tambahan kegiatan dengan diadakan syawir pelajaran Madrasah pada tiap malam. Ide syawir ini muncul atas keprihatinan sebagian santri yang merasa kurangnya waktu belajar di Madrasah, sehingga pemahaman terhadap pelajaran menjadi kurang disamping itu manfaat musyawarah adalah sebagai upaya pengenalan tentang metode-metode musyawarah yang baik kepada para santri.
Sebenarnya kegiatan syawir ini sudah pernah diadakan sejak duhulu, yaitu dilaksanakan setelah mengaji ba‟da Dhuhur. Namun terbentur dengan banyaknya santri yang masih berada dalam kegiatan di luar pondok (sekolah formal atau bekerja), kegiatan ini hanya berjalan beberapa bulan saja.
Dengan adanya pengembangan-pengembangan di atas, bukan berarti mengabaikan kegiatan yang lain. Di luar jam-jam Madrasah, terutama setelah shalat maktubah, sorogan al-Qur‟an dan pengajian kitab-kitab kuning dengan sistem klasik (sistem utawi, iki, iku) dan bandongan tetap dilaksanakan dan menjadi prioritas utama.
Dalam membina santri Ponpes MIA membentuk kepengurusan yang terdiri dari ketua yang dibantu oleh sekretaris dan bendahara serta membawahi seksi-seksi. Dalam menjalankan tugas-tugas pengurus bertanggung jawab secara langsung kepada Penasihat dan Pengasuh.
sungguh sejarah perjuangan yang begitu keras
BalasHapussemoga sebagai generasi penerus kita bisa menjaga nama baik pesantren di manapun berada
aamiin,...
BalasHapusAmiiiin
BalasHapuskok tidak dilengkapi auto biografi pendiri ponpes MIA y?
BalasHapus